Pernahkah kamu melihat seorang pria duduk sendirian di depan Indomaret, termenung di kursi besi sambil menikmati sebotol Golda atau minuman lainnya? Ternyata, setelah ditelusuri, ia sedang menghadapi banyak persoalan dalam hidupnya. Pemandangan ini membuat kita bertanya-tanya: sebesar apa sebenarnya masalah yang sedang ia pikirkan? Mengapa saat laki-laki punya masalah, ia lebih banyak diam, memilih untuk tidak bercerita sampai ia menemukan solusi sendiri? Bahkan, tak jarang ia lebih memilih mengabaikan masalahnya.
Berbeda dengan perempuan, pria cenderung lebih menutup diri soal perasaan atau masalah yang dihadapinya. Bagi laki-laki, diam dan termenung adalah cara untuk mengidentifikasi akar persoalan yang sedang melanda hidup mereka. Tapi, kenapa bisa begitu? Bukankah sebaiknya ketika ada masalah, lebih baik dibicarakan dengan orang terdekat atau seseorang yang dipercaya agar solusinya bisa ditemukan bersama-sama?
Ini adalah bentuk mekanisme koping khas pria. Mereka sering berpikir bahwa dengan membiarkan atau mengabaikan masalah, seiring waktu, masalah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Alih-alih bercerita, laki-laki khawatir jika membicarakan masalahnya justru akan memperburuk keadaan. Selain itu, sering kali pria tidak mendapatkan dukungan emosional untuk memahami sisi sensitif mereka. Mereka dididik untuk selalu kuat, tegar, dan tidak menunjukkan kelemahan.
Namun, menurutku, tidak ada salahnya bagi laki-laki untuk bercerita. Itu bukanlah suatu kelemahan. Justru emosi yang diabaikan cenderung menumpuk dan bisa mempengaruhi kesehatan mental mereka di masa depan. Sudah saatnya kita menghilangkan stereotip yang membatasi laki-laki untuk terbuka mengenai perasaan dan permasalahannya. Laki-laki tidak harus selalu terlihat kuat dan tegar; ada kalanya mereka juga berada dalam kondisi lemah dan membutuhkan seseorang untuk mendengarkan.
Penulis : Jamalulel
Editor : Yhanik Wahyuning Ismawandari